APRESIASI DAN KAJIAN SASTRA


Goodpeople-- Berbagi itu salah satu bentuk kasih kita pada sesama. Nah, kali ini pun saya ingin berbagi makalah bahasa indonesia mengenai apresiasi dan kajian sastra . Penasaran ? Yuukk langsung baca :)



BAB I

PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Sastra pada dasarnya merupakan ciptaan, sebuah kreasi bukan semata-mata sebuah imitasi (dalam Luxemburg, 1989: 5). Karya sastra sebagai bentuk dan hasil sebuah pekerjaan kreatif, pada hakikatnya adalah suatu media yang mendayagunakan bahasa untuk mengungkapkan tentang kehidupan manusia. Oleh sebab itu, sebuah karya sastra, pada umumnya, berisi tentang permasalahan yang melingkupi kehidupan manusia. Kemunculan sastra lahir dilatar belakangi adanya dorongan dasar manusia untuk mengungkapkan eksistensi dirinya. (dalam Sarjidu, 2004: 2).

Pendidikan sastra dan bahasa Indonesia mempunyai peranan yang penting didalam dunia pendidikan. Seperti yang kita ketahui bahwa dalam kehidupan sehari-hari kita menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi.. Dalam apresiasi sastra manfaat yang sanagt dirasakan adalah adnya pengembangan jiwa, dimana kita dapat mengeksplore seluruh potensi yang ada dalam diri kita terutama hal yang ada dalam apresiasi sasta yaitu seperti puisi dan prosa fiksi.

Apresiasi sastra akan muncul jika pembelajaran berjalan menyenagkan, adanya stimulus dan respon memberikan dampak yang positif pada perkembangan apresiasi.

1.2  Rumusan Masalah

Berawal dari latar belakang tersebut kita akan memperbincangkan hal apa saja yang berkaitan dengan apresiasi sastra antara lain :

a.       Apa Pengertian Apresiasi Sastra ?

b.      Apa saja  Apresiasi Prosa Fiksi dan Puisi ?

c.       Bagaimanakah caranya mengapresiasi pertunjukan sastra ?

1.3  Tujuan dan Manfaat

Adapun maksud dan tujuan disusunnya makalah ini yakni sebagai berikut :

a.       Dapat mengetahui dan memahami pengertian apresiasi sastra.

b.      Dapat memahami dan menguasai apresiasi sastra dalam prosa fiksi.

c.       Dapat memahami dan menguasai apresiasi sastra dalam puisi.

d.      Mampu mengapresiasikan karya sastranya dengan baik.

1.4 Manfaat

Penyusunan makalah ini mempunyai manfaat sebagai berikut :

a.       Dapat mengapresiasikan karya sastra dengan baik dalam prosa fiksi maupun puisi.

b.      Mampu mengapresiasikan karya sastranya sendiri.

c.       Dapat menambah pengetahuan mengenai apresiasi sastra.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Apresiasi Sastra

2.1.1 Apresiasi Sastra

            Istilah apresiasi satra berasal dari bahasaLatin apreciatio yang berarti “mengindahkan” atau “menghargai”. Dalam konteks yang lebih luas, istilah apresiasi menurut Gove mengandung makna (1) pengenalan melalui perasaan atau kepekaan batin dan (2) pemahan dan pengakuan terhadap nilai-nilai keindahan yang diungkapkan pengarang. Pada sisi lain Squire dan Taba berkesimpulan bahwa sebagai suatu proses, apresiasi melibatkan 3 unsur inti, yakni (1) aspek kognitif, (2) aspek emotif dan (3) aspek evaluatif.

Aspek kognitif berkaitan dengan keterlibatan intelek pembaca dalam upaya memahami unsur-unsur kesastraan yang bersifat objektif. Aspek emotif berkaitan dengan keterlibatan unsur emosi pembaca dalam upaya menghayati unsur-unsur keindahan dalam teks sastra yang dibaca. Unsur emosi juga sangat berperan dalam uapaya memahami unsur-unsur yang bersifat subjektif. Aspek evaluatif berhubungan dengan kegiatan memberikan penilaian terhadap baik-buruk, indah-tidak indah, sesuai-tidak sesuai serta sejumlah ragam penilaian lain yang tidak harus hadir dalam sebuah karya kritik, tetapi secara personal cukup dimiliki oleh pembaca.  

Sejalan dengan pengertian apresiasi di atas, S.Effendi mengungkapkan bahwa apresiasi sastra adalah kegiatan menggauli karya sastra secara sungguh-sungguh sehingga menumbuhkan pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap karya sastra. Dapat disimpulkan bahwa kegiatan apresiasi dapat tumbuh dengan baik apabila pembaca mampu menumbuhkan rasa akrab dengan teks sastra yang diapresiasinya, menumbuhkan sikap sungguh-sungguh serta melaksanakan kegiatan apresiasi itu sebagai bagian dari hidupnya, sebagai suatu kebutuhan yang mampu memuaskan rohaninya.

2.1.2 Kegiatan Langsung dan Tidak Langsung Dalam Mengapresiasi Sastra

            Apresiasi sastra secara lansung adalah kegiatan membaca atau menikmati cipta sastra berupa teks maupun performansi secara langsung. Kegiatan membaca suatu teks sastra secara langsung itu dapat terwujud dalam perilaku membaca, memahami, menikmati, serta mengevaluasi teks sastra, baik yang berupa cerpen, novel, roman, naskah drama, maupun teks sastra yang berupa puisi. Apresiasi sastra secara tidak langsung dapat di tempuh dengan cara mempelajari teori sastra, membaca artikel yang berhubungan dengan kesastraan baik  di majalah mauun di koran, mempelajari buku-buku maupun esai yang membahas dan memberikan penilaian terhadap suatu karya sastra serta mempelajari sejarah sastra. Hal ini bukan hanya mengembangkan pengetahuan seseorang tentang sastra, melainkan juga akan meningkatkan kemampuan dalam rangka mengapresiasi suatu cipta sastra.

2.2 Pendekatan Dalam Apresiasi Sastra

            Pendekatan sebagai suatu prinsip dasar atau landasan yang digunakan oleh seseorang sewaktu mengapresiasi karya sastra dapat bermacam-macam. Keanekaragaman pendekatan yang digunakan itu dalam halaman ini lebih banyak ditentukan oleh (1) tujuan dan apa yang akan diapresiasi lewat teks sastra yang dibacanya, (2) kelangsungan apresiasi itu terproses lewat kegiatan bagaimana, dan (3) penentuan pendekatan tersebut tentu sangan ditentukan oleh tujuan pengapresiasi itu sendiri.  

2.2.1 Pendekatan Parafrastis

            Adalah strategi pemahaman kandungan makna dalam suatu cipta sastra dengan jalan mengungkapkan kembali gagasan yang disampaikan pengarang dengan menggunakan kata-kata maupun kalimat yang berbeda dengan kata-kata dan kalimat yang digunakan pengarangnya. Tujuannya adalah untuk menyederhanakan pemakaian kata atau kalimat seorang pengarang sehingga pembaca lebih mudah memahami kandungan makna yang terdapat dalam suatu cipta sastra.

2.2.2 Pendekatan Emotif

       Adalah suatu pendekatan yang berusaha menemukan unsur-unsur yang mengajuk emosi atau perasaan pembaca. Ajukan emosi itu dapat berhubungan dengan keindahan penyajian bentuk maupun ajukan emosi yang berhubungan dengan isi atau gagasan yang lucu dan menarik.

2.2.3 Pendekatan Analitis 

       Adalah suati pendekatan yang berusaha memahami gagasan, cara pengarang menampilkan gagasan atau mengimajikan ide-idenya, sikap pengarang dalam menampilkan gagasan-gagasannya, elemen intrinsik dan mekanisme hubungan dari setiap elemen intrinsik itu sehingga mampu membangun adanya keselarasan dan kesatuan dalam rangka membangun totalitas bentuk maupun totalitas maknanya.

2.2.4 Pendekatan Historis

       Adalah suatu pendekatan yang menekankan pada pemahaman tentang biografi pengarang, latar belakang peristiwa kesejarahan yang melatarbelakangi masa-masa terwujudnya cipta sastra yang dibaca, serta tentang bagaimana perkembangan kehidupan penciptaan maupun kehidupan sastra itu sendiri pada umumnya dari zaman ke zaman.

2.2.5 Pendekatan Sosiopsikologis

       Adalah suatu pendekatan yang berusaha memahami latar belakang kehidupan sosial-budaya, kehidupan masyarakat, maupun tanggapan kejiwaan atau sikap pengarang terhadap lingkungan kehidupannya atau zamannya pada saat cipta sastra itu diwujudkan.

2.2.6 Pendekatan Didaktis

       Adalah suatu pendekatan yang berusaha menemukan dan memahami gagasan, tanggapan evaluatif maupun sikap pengarang terhadap kehidupan. Gagasan, tanggapan maupun sikap itu dalam hal ini akan mampu terwujud dalam suatu pandangan etis, filosofis, maupun agamis sehingga akan mengandung nilai-nilai yang mampu memperkaya kehidupan rohaniah pembaca.

2.3 Tinjauan Pendekatan dan Teori Serta Manfaaf Dalam Mengapresiasi Sastra

2.3.1 Tinjauan Pendekatan dan Teori

            Dalam pembahasan di depan telah diungkapkan bahwa teks sastra mengandung berbagai unsur yang sangan kompleks. Kompleksitas unsur itu setidaknya meliputi unsur (1) kebahasaan, (2) struktur wacana, (3) signifikan sastra, (4) keindahan, (5) sosial-budaya, (6) nilai, baik nilai filsafat, agama, maupun psikologi, serta (7) latar kesejarahannya. Akhirnya terdapat aneka ragam pendekatan maupun berbagai macam teori atau aliran dalam rangka analisis teks sastra.

            Aliran fenomenologi, misalnya, merupakan aliran yang lebih banyak memusatkankan perhatiannya pada aspek makna dan nilai-nilai yang terkandung dalam teks sastra. Untuk memahami makna tersebut, bagi aliran fenomenologi pembaca harus mampu memahami realitas tersurat yang digambarkan pengarang serta mampu mengasosiasi dan mengabstrasikannya. Realitas dalam teks sastra menurut hermeneutika, tidak dapat dilepaskan dari dunia kehidupan dan waktu. Untuk memahami makna yang terkandung di dalamnya, perlu juga ditelaah hubungan teks sastra itu dengan kehidupan sosial-budaya yang melatari maupun unsur kesejarahannya. Dalam formalisme justru menekankan pada aspek bentuk, atau tepatnya pada aspek kebahasaannya. Dalam strukturalisme sebagai aliran sastra yang tumbuh kemudian, hadir dengan menunjukkan adanya berbagaikeragaman meskipun prinsip dasarnya sama, yakni “sastra merupakan struktur verbal yang bersifat otonom dan dapat dipisahkan dari unsur-unsur lain yang menyertainya”.

            Ada yang dinamakan teori resepsi yang ditokohi Jacques Lacan dan Roland Barthes memiliki anggapan bahwa sebuah karya sastra, setelah hadir di tengah masyarakat pembaca, pembaca sendiri itulah yang akhirnya akan memberikan makna. Olsen masih mengungkapkan adanya teori lain, lebih banyak berorientasi pada ciri serta proses analisis dari suatu pendekatan dalam apresiasi sastra, meliputi : Teori Tradisional adalah teori yang sepenuhnya berorientasi pada sejarah dan makna yang terkandung dalam karya sastra serta menyikapi makna itu sebagai sesuatu yang mampu mengembangkan pengetahuan serta filsafat hidup pembaca.  Teori Intensional adalah teori yang memusatkan telaahnya pada unsur-unsur signifikan yang membangun karya sastra dan secara intrinsik terkandung dalam teks sastra itu sendiri.  Teori Ekstensional pusat telaahnya justru pada unsur-unsur nonsignifikan dalam teks sastra, tetapi keberadaanya berperan dalam mewujudkan teks sastra itu sendiri. Teori Semantik lebih banyak merupakan penerapan semantik itu sendiri dalam upaya memahami makna dalam suatu teks sastra.

            Sedangkan sejumlah teori lainnya, yakni teori yang hadir dengan bepangkal tolak dari kehadiran dan prosespemahaman suatu teks sastra, meliputi : Teori Mimesis memiliki anggapan dasar bahwa teks sastra pada dasarnya merupakan wakil atau penggambaran dari realitas. Untuk memahami realitas yang digambarkan dalam teks sastra, pembaca terlebih dahulu harus memiliki bekal pemahaman tentng realitas itu sendiri, baik berupa pengetahuan maupun pengalaman. Teori Emotif merupakan teori yang beranggapan bahwa karya sastra pada dasarnya hadir dari kedalaman emosi pengarangnya. Teori Ekspresif, dengan Plato dan Aristoteles sebagai pemulanya, beranggapan dasar bahwa teks sastra, terutama puisi, pada dasarnya merupakan ekspresi spontan yang terolah lewat kedalaman emosi pengarangnya.

2.3.2 Manfaat Mengapresiasi Sastra

       2.3.2.1 Manfaat secara umum

                   Bila mengamati kehidupan sehari-hari, sering kali kita lihat ada seseorang yang dengan asyik membaca cerita sambil menunggu kereta atau bus yang tak kunjung tiba, sebagai penyangga kantuk sewaktu harus berjaga, sebagai pengantar tidur, atau mungkin sebagai pengisi waktu luang. Dalam hal ini manfaat dari kegiatan apresiasinya itu akan begitu saja hilang. Hal yang demikian itu terjadi karena manfaat yang diperoleh lewat kegiatan membaca sastra demikian itu hanyalah manfaat (1) mendapatkan hiburan dan (2) pengisi waktu luang.

       2.3.2.2 Manfaat secara khusus

                   Manfaat secara khusus itu dapat diartikan pula sebagai manfaat yang dicapai oleh seorang pembaca sehubungan dengan upaya pencapaian tujuan-tujuan tertentu. Dapat disimpulkan bahwa seorang pembaca sastra, kegiatan bacanya dapat dilatarbelakangi tujuan mendapatkan berbagai macam nilai kehidupan. Dalam hal demikian, kegiatan membaca sastra dapat memberika manfaat (1) memberikan informasi yang berhubungan dengan pemerolehan nilai-nilai kehidupan, dan (2) memperkaya wawasan kehidupan maupun nilai kehidupan.

2.4 Pemahaman Unsur-Unsur Dalam Prosa Fiksi

2.4.1 Pengertian Prosa Fiksi

       Istilah prosa fiksi atau cukup disebut karya fiksi, biasanya juga diistilahkan dengan prosa cerita, prosa narasi, narasi atau cerita berplot. Prosa Fiksi adalah kisahan atau cerita yang diemban oleh pelaku-pelaku tertentu dengan pemeranan, latar serta tahapan dan rangkaian cerita tertentu yang bertolak dari hasil imajinasi pengarangnya sehingga menjalin suatu cerita. Karya fiksi lebih lanjut dapat dibedakan dalam berbagai macam bentuk, baik itu roman, novel, novelet, maupun cerpen. Sebagai salah satu genre sastra, karya fiksi mengandung unsur-unsur meliputi (1) pengarang atau narator, (2) isi penciptaan, (3) media penyampaian isi berupa bahasa, (4) elemen-elemen fiksional atau unsur intrinsik yang membangun karya fiksi itu sendiri sehingga menjadi suatu wacana. Pada sisi lain, dalam rangka memaparkan isi tersebut, pengarang akan memaparkannya lewat penjelasan atau komentar, dialog maupun monolog, dan lewat lakuan atau action.

2.4.2 Pengertian Setting Dalam Prosa Fiksi

       Setting adalah latar peristiwa dalam karya fiksi, baik berupa tempat, waktu, maupun peristiwa, serta memiliki fungsi fisikal dan fungsi psikologis. Lebih lanjut, Leo Hamalian dan Frederick R K arel menjelaskan bahwa setting dalam karya fiksi bukan hanya berupa tempat, waktu, peristiwa, suasana serta benda-benda dalam lingkungan tertentu, melainkan juga dapat berupa suasana yang berhubungan dengan sikap, jalan pikiran, prasangka, maupun gaya hidup suatu masyarakat dalam menanggapi suatu problema tertentu.

2.4.3 Hubungan Setting dengan Unsur Signifikan Lain dalam Prosa Fiksi

       Sebagai salah satu bagian dari unsur-unsur pembangun karya fiksi, setting selalu memiliki hubungan dengan unsur-unsur signifikan lain dalam rangka membangun totalitas makna serta adanya kesatuan atau unity dari keseluruhan isi yang dipaparkan pengarang. Setting selalu memiliki hubungan dengan penokohan, perwatakan, suasana cerita atau atmosfer, alur atau plot maupun dalam rangka mewujudkan tema suatu cerita.

2.4.4 Pengidentifikasian Setting dalam Prosa Fiksi

       Sewaktu menelaah unsur setting dalam suatu karya fiksi, pembaca pada dasarnya dapat menampilkan beberapa macam pertanyaan, antar lain meliputi pertanyaan tentang adakah unsur setting dalam karya fiksi yang saya baca, apabila ada, setting itu meliputi setting apa saja;tempat, waktu, peristiwa, suasana kehidupan, ataukah benda-benda dalam lingkungan tertentu. Suatu masalah yang harus diperhatikan baik-baik adalah bahwa setting juga masih memerlukan adanya penafsiran karena sering kali pengarang tidak mengungkapkannya secara jelas. Selain itu, seperti telah disinggung di atas, setting juga mampu menyiratkan makna-makna tertentu sehingga bersifat metaforis.

2.4.5 Unsur Gaya dalam Karya Fiksi

       Istilah gaya diangkat dari istilah style yang berasal dari bahasa Latin “stilus” dan mengandung arti leksikal “alat untuk menulis”. Dalam karya sastra istilah gaya mengandung pengertian cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasayang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca. Scharbach menyebut gaya “sebagai hiasan, sebagai sesuatu yang suci, sebagai sesuatu yang indah dan lemah gemulai serta sebagai perwujudan manusia itu sendiri.

a.       Unsur-unsur gaya dalam prosa fiksi

Unsur-unsur gaya yang terdapat dalam suatu sastra yang akan melibatkan masalah (1) unsur-unsur kebahasaan berupa kata dan kalimat, (2) alat gaya yang melibatkan masalah kiasan, seperti metafora, metonimi, simbolik, dan majas.

b.      Hubungan gaya dengan ekspresi pengarang dan implikasinya

Gaya berkaitan erat dengan ekspresi karena, jika gaya adalah cara dan alat seorang pengarang untuk mewujudkan gagasannya, maka ekspresi adalah proses atau kegiatan perwujudan gagasan itu sendiri. Sebab itulah gaya dapat juga disebut sebagai cara, teknik maupun bentuk pengekspresian suatu gagasan. Gaya berkaitan erat dengan gagasan, jika gaya seperti yang telah disebutkan di atas, maka gagasan adalah isi atau sumber dari keseluruhannya.

2.4.6 Penokohan dan Perwatakan dalam Prosa Fiksi  

       Pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita disebut dengan tokoh. Sedangkan pengarang menampilkan tokoh atau pelaku itu disebut dengan penokohan. Para tokoh yang terdapat dalam suatu cerita memiliki peranan yang berbeda. Seorang tokoh yang memiliki peranan penting dalam suatu cerita disebut dengan tokoh inti atau utama. Sedangkan tokoh yang memiliki peranan tidak penting karena pemunculannya hanya melengkapi, melayani, mendukung pelaku utama, disebut tokoh tambahan atau tokoh pembantu. Sehubungan dengan watak ini tentunya telah mengetahui pelaku protagonis, yaitu pelaku yang berwatak baik dan pelaku antagonis, yaitu pelaku yang berwatak jahat atau tidak baik.

2.4.7 Alur dan Pemahaman Alur dalam Prosa Fiksi

       Pengertian alur dalam cerpen atau dalam karya fiksi pada umumnya adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita.

2.4.8 Titik Pandang

       Titik pandang adalah cara pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang dipaparkannya. Biasa disebut dengan point of view atau titik kisah, meliputi narrator omniscient, narrator obsever, narrator obsever omniscient, dan narrator the third person omniscient. Narrator omniscient adalah narator atau pengisah yang juga berfungsi sebagai pelaku cerita. Narrator observer adalah bila pengisah berfunsi sebagai pengamat terhadap pemunculan para pelaku serta hanya tahu dalam batas tertentu tentang perilaku batiniah para pelaku. Berkebalikan dengan narrator observer, dalam narrator omniscient pengarang, meskipun hanya menjadi pengamat dari pelaku, dalam hal itu juga merupakan pengisah atau penutur yang serba tahu meskipun pengisah masih juga menyebut nama pelaku dengan ia, mereka, maupun dia.

2.4.9 Tema dalam Prosa Fiksi

       Istilah tema menurut Scharbach berasal dari bahasa Latin yang berarti “tempat meletakkan suatu perangkat”. Disebut demikian karena tema adalah ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperan juga sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakannya. Dalam upaya pemahaman tema, pembaca perlu memperhatikan beberapa langkah berikut secara cermat, yaitu memahami setting dalam prosa fiksi yang dibaca, memahami penokohan dan perwatakan para pelaku dalam prosa fiksi yang dibaca, memahami suasana peristiwa, pokok pikiran serta tahapan peristiwa, memahami plot atau alur cerita, menghubungkan pokok-pokok pikiran yang satu dengan yang lain yang disimpulkan dari satuan-satuan peristiwa yang yang terpapar, menentukan sikap penyair terhadap pokok pikiran yang ditampilkan, mengidentifikasi tujuan pengarang , dan menafsirkan tema dalam cerita.

2.5 Pengertian dan Ragam Puisi

            Secara etimologi, istilah puisi berasal dari bahasa Yunani poeima “membuat” atau poetry “pembuatan”, dan dalam bahasa Inggris disebut poem atau poetry. Puisi diartikan “membuat” dan “pembuatan” karena lewat puisi pada dasrnya seorang telah menciptakan suatu dunia tersendiri, yang mungkin berisi pesan atau gambaran suasana-suasana tertentu, baik fisik maupun batiniah. Ditinjau dari bentuk maupun isinya, ragam puisi itu bermacam-macam, sedikitnya dibedakan antara lain :

a.       Puisi epik, yakni puisi yang di dalamnya mengandung cerita kepahlawanan, baik yang berhubungan dengan legenda, kepercayaan, maupun sejarah.

b.      Puisi naratif, yakni puisi yang di dalamnya mengandung suatu cerita, dengan pelaku, perwatakan, setting, maupun rangkaian peristiwa tertentu yang menjalin suatu cerita.

c.       Puisi lirik, yakni puisi yang berisi luapan batin individual penyairnya dengan segala macam endapan pengalaman, sikap, maupun suasana batin yang melengkapinya.

d.      Puisi dramatik, yakni puisi yang secara objektif menggambarkan perilaku sesorang, baik lewat lakuan, dialog, maupun monolog sehingga mengandung suatu gambaran kisah tertentu.

e.       Puisi didaktik, yakni puisi yang mengandung nilai-nilai kependidikan yang umumnya tertampil eksplisit.

f.       Puisi satirik, yakni puisi yang mengandung sindiran atau kritik tentang kepincangan atau ketidakberesan kehidupan suatu kelompok maupun suatu masyarakat.

g.      Puisi romance, yakni puisi yang berisi luapan rasa cinta sesorang terhadap sang kekasih.

h.      Puisi elegi, yakni puisi ratapan yang mengungkapkan rasa pedih seseorang.

i.        Puisi ode, yakni puisi yang berisi pujian terhadap sesorang yang memiliki jasa ataupun sikap kepahlawanan.

j.        Puisi himne, yakni puisi yang berisi pujian kepada Tuhan maupun ungkapan rasa cinta terhadap bangsa ataupun tanah air.

2.6 Bangun Struktur Puisi

        Bangun struktur puisi adalah unsur pembentuk puisi yang dapat diamati secara visual. Unsur tersebut akan meliputi bunyi, kata, larik atau baris, dan tipografi.

2.6.1. Unsur Bunyi dalam Puisi

       a. Rima adalah bunyi yang berselang atau berulang, baik di dalam larik puisi maupun pada akhir larik-larik puisi.

b. Irama adalah paduan bunyi yang menimbulkan unsur musikalitas, baikberupa alunan keras-lunak, tinggi-rendah, panjang-pendek, dan kuat-lemah yang keseluruhannya mampu menumbuhkan kemerduan, kesan suasana serta nuansa makna tertentu.

c. Ragam bunyi meliputi euphony, bunyi cacophony dan onomatope.

Dapat disimpulkan bahwa bahwa peranan bunyi dalam puisi meliputi untuk menciptakan nilai keindahan lewat unsur musikalitas atau kemerduan, untuk menuansakan makna tertentu sebagai perwujudan rasa dan sikap penyairnya, serta untuk menciptakan suasana tertentu sebagai perwujudan suasana batin dan sikap penyairnya.

2.6.2 Kata dalam Puisi  

       Berdasarkan bentuk dan isi, kata-kata dalam puisi dapat dibedakan antara (1) lambang, yakni bila kata-kata itu mengandung makna seperti makna dalam kamus (makna leksikal) sehingga acuan maknanya tidak menunjuk pada berbagai macam kemungkinan lain (makna denotatif), (2) utterance atau indice, yakni kata-kata yang mengandung makna sesuai dengan keberadaan dalam konteks pemakaian, dan (3) simbol, yakni bila kata-kata itu mengandung makna ganda (makna konotatif). Kata-kata dalam puisi tidak diletakkan secara acak, tetapi dipilih, ditata, diolah, dan diatur penyairnya secara cermat. Pemilihan kata untuk mengungkapkan suatu gagasan disebut diksi. Diksi yang baik tentu berhubungan dengan pemilihan kata yang tepat, padat dan kaya akan nuansa makna dan suasana sehingga mampu mengembangkan dan mengajuk daya imajinasi pembaca.

2.6.3 Baris dalam Puisi

       Istilah baris atau larik dalam puisi, pada dasarnya sama dengan istilah kalimat dalam karya prosa. Selain itu, baris dalam puisi juga sering kali mengalami pelepasan, yakni penghilangan salah satu atau beberapa bentuk dalam suatu larik untuk mencapai kepadatan dan keefektifan bahasa. Dapat disimpulkan bahwa baris atau larik puisi adalah satuan yang pada umumnya lebih besar dari kata dan telah mendukung satuan makna tertentu.

2.6.4 Bait dalam Puisi

       Satuan yang lebih besar dari larik biasanya disebut dengan bait. Pengertian bait adalah kesatuan larik yang berada dalam satu kelompok dalam rangka mendukung satu kesatuan pokok pikiran, terpisah dari kelompok larik (bait) lainnya. Peranan bait dalam puisi adalah untuk membentuk suatu kesatuan makna dalam rangka mewujudkan pokok pikiran tertentu yang berbeda dengan satuan makna dalam kelompok larik lainnya, berperan menciptakan tipografi puisi, berperan dalam menekankan atau mementingkan suatu gagasan serta menunjukkan adanya loncatan-loncatan gagasan yang dituangkan penyairnya.

2.6.5 Tipografi dalam Puisi

       Cara penulisan suatu puisi sehingga menampilkan bentuk-bentuk tertentu yang dapat diamati secara visual disebut tipografi. Peranannya dalam puisi, selain untuk menampilkan aspek artistik visual, juga untuk menciptakan nuansa makna dan suasana tertentu, juga berperan dalam menunjukkan adanya loncatan gagasan serta memperjelas adanya satuan-satuan makna tertentu yang ingin dikemukakan penyairnya.

2.7 Pengertian Drama

            Drama berasal dari bahasa Yunani “dromai” yang berarti: berbuat, berlaku, bertindak, atau beraksi. Drama berarti perbuatan, tindakan atau beraksi (Harymawan, 1993: 1).

Perkataan drama sering dihubungkan dengan teater. Sependapat dengan hal itu, Stanislavisky et all (2002:103) merumuskan tentang teater yang bertujuan untuk membuat sebuah peristiwa di mana rangkaian adegan dapat langsung muncul secara bersamaan dalam sebuah komunitas secara perlahan-lahan terpisah karena hukum alam yang mencipta setiap komunitas. Kemudian pada momen tertentu, dunia ynag terpisah ini muncul bersamaan dalam waktu tertentu. Sebenarnya perkataan “teater” mempunyai makna lebih luas karena dapat berarti drama, gedung pertunjukan, panggung, grup pemain drama, dan dapat pula berarti segala bentuk tontonan yang dipentaskan di depan orang banyak (Herman J. Waluyo, 2002:3). Dibanding genre karya sastra lainnya (novel, cerpen, dan puisi), drama memiliki keunikan tersendiri. Selain bisa dinikmati sebagai bacaan drama pun bisa dinikmati sebagai sebuah pertunjukan. Hal inilah yang membuat drama disebut sebagai karya dua dimensi, yaitu drama sebagai genre sastra (teks) dan drama sebagai pertunjukan seni peran. Drama adalah kesenian yang melukiskan sifat dan sikap manusia dan harus melahirkan kehendak manusia dengan action dan perilaku.

Euis Sulastri, dkk. (2008: 131) mengungkapkan bahwa drama memiliki bentuk yang bermacam-macam, yaitu:

1. Tragedi ialah drama duka yang menampilkan pelakunya terlibat dalam pertikaian serius yang menimpanya sehingga menimbulkan takut, ngeri, menyedihkan sehingga menimbulkan tumpuan rasa kasihan penonton.

2. Melodrama ialah lakon yang sangat sentimental dengan pementasan yang mendebarkan dan mengharukan penggarapan alur dan lakon yang berlebihan sehingga sering penokohan kurang diperhatikan.

3. Komedi ialah lakon ringan untuk menghibur namun berisikan sindiran halus. Para pelaku berusaha menciptakan situasi yang menggelikan.

4. Force ialah pertunjukan jenaka yang mengutamakan kelucuan. Namun, di dalamnya tidak terdapat unsur sindiran. Para pelakunya berusaha berbuat kejenakaan tentang diri mereka masing-masing.

5. Satire, kelucuan dalam hidup yang ditanggapi dengan kesungguhan biasanya digunakan untuk melakukan kecaman/kritik terselubung.

Dengan mencermati beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa drama merupakan imitasi dari kehidupan atau perilaku manusia yang dipentaskan dengan suatu penampilan gerak, dialog, mimik, dan gesture yang dapat dinikmati dalam pementasan.

2.8 Unsur-Unsur Drama

Unsur yang memungkinkan sebuah drama dapat dipentaskan menjadi satu seni pertunjukan, maka dapat dipilah-pilah menjadi dua bagian besar, yaitu terdiri dari : (1) Unsur Utama terdiri dari sutradara, pemain, teknisi (pekerja panggung), dan penonton. (2) Sarana Pendukung  terdiri dari pentas dan komposisinya, kostum (busana), tata rias, pencahayaan, serta tata suara dan ilustrasi musik.

2.8.1 Pementasan dan Sarana Pendukung

       a. Pentas : Teknik Penataan dan Komposisi

                   Pementasan drama terutama drama modern tidak mungkin dapat terjadi tanpa pentas. Namun begitu, tanpa penataan dan pengaturan komposisi pentas tidak akan mendukung suatu pementasan drama. Komposisi pentas dapat diartikan sebagai penyusunan yang artistik dan berdaya guna atas properti, perlengkapan serta para pemain pada pentas pertunjukan. Oleh sebab itu, menjadi diketahui bahwa komposisi pentas haruslah dilakukan sedemikian rupa sehingga benda-benda statis dan benda-benda dinamis menjadi serasi untuk menampilkan suatu seni pertunjukan.

       b. Kostum

                   Batasan yang dapat diberikan mengenai kostum adalah segala sesuatu yang dikenakan atau terpaksa tidak dikenakan termasuk asesoris kepada pemain untuk kepentingan pementasan.

       c. Tata Rias

                   Secara garis besarnya mungkin pengertian tata rias dapat diidentikkan dengan istilah make-up. Namun dalam hubungannya dengan pementasan drama tidak dapat disamakan dengan pengertian make-up sebagaimana yang dikenal oleh masyarakat pada umumnya.

BAB III

PENUTUP

1.1    Simpulan

     Berdasarkan pemaran di atas, maka dapat disimpulkan yakni sebagai berikut :

a.    Apresiasi sastra adalah kegiatan menggauli karya sastra secara sungguh-sungguh sehingga menumbuhkan pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap karya sastra.

b.    Kegiatan apresiasi sastra meliputi apresiasi prosa fiksi, apresiasi puisi, dan apresiasi drama.

c.    Cara mengapresiasi pertunjukan sastra yakni dapat melalui kegiatan langsung maupun tidak langsung. Apresiasi sastra secara lansung adalah kegiatan membaca atau menikmati cipta sastra berupa teks maupun performansi secara langsung. Kegiatan membaca suatu teks sastra secara langsung itu dapat terwujud dalam perilaku membaca, memahami, menikmati, serta mengevaluasi teks sastra, baik yang berupa cerpen, novel, roman, naskah drama, maupun teks sastra yang berupa puisi. Apresiasi sastra secara tidak langsung dapat di tempuh dengan cara mempelajari teori sastra, membaca artikel yang berhubungan dengan kesastraan baik  di majalah mauun di koran, mempelajari buku-buku maupun esai yang membahas dan memberikan penilaian terhadap suatu karya sastra serta mempelajari sejarah sastra. Hal ini bukan hanya mengembangkan pengetahuan seseorang tentang sastra, melainkan juga akan meningkatkan kemampuan dalam rangka mengapresiasi suatu cipta sastra.

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 2000. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung : PT. Sinar Baru Algensindo.
Previous
Next Post »