Hai Goodpeople-- Pada kesempatan ini saya ingin berbagi cerpen karya saya sendiri. Silakan bagi kalian yang penasaran ingin membaca cerpennya, langsung aja lihat di bawah sini :)
Kaulah Malaikatku
Oleh Ina Rohaeni
Awan putih berlarian di cakrawala biru. Dedaunan berguguran seakan tertarik melayang dan menari mengejar angin. Di sebuah kota kecil yang tak jauh dari pusat kota Bekasi, hiduplah dua orang anak kecil yatim piatu. Seorang kakak laki-laki berusia 25 tahun dan seorang adik perempuan berusia 17 tahun. Mereka tinggal di sebuah rumah sederhana peninggalan kedua orang tuanya.
10 tahun lalu keluarganya mengalami kecelakaan mobil ketika hendak pergi bertamasya. Sayang.. hanya dua anak itu saja yang selamat. Setelah kepergian kedua orang tuanya, sang kakak, Ilham yang sedikit mengalami keterbelakangan mental akibat kecelakaan itu menjadi tulang punggung keluarga, dan membiayai adik perempuannya, Lili yang masih sekolah di jenjang SMA kelas XI.
Setiap pagi sebelum Ilham berangkat bejualan, ia selalu menyediakan sarapan di depan kamar Lili.
“Lili.. a-aku buatkan sarapan untukmu, a-aku simpan di-di depan kamarmu ya..” ujar Ilham.
Namun sarapan itu tak pernah Lili sentuh sedikitpun. Lili lebih memilih kelaparan daripada memakan masakan yang dibuat kakaknya sendiri.
Ilham biasa berjualan gorengan dari pagi hingga sore di jalan dekat sekolah adiknya. Banyak orang yang membeli gorengannya, karena mempunyai cita rasa yang berbeda dengan gorengan yang lain.
“Mas Ilham, kami pesan sepuluh ya...” ujar salah satu dari gerombolan siswa laki-laki.
Ilham hanya menganggukkan kepalanya seraya tersenyum.
Hampir dari setengah dari guru dan siswa sekolah itu menjadi pelangannya. Namun adiknya tidak pernah memakan sekalipun gorengan yang dijual oleh kakaknya. Bahkan setiap kali Lili melewati kios kecil kakaknya, ia berpura-pura tidak melihatnya. Padahal kakaknya selalu tersenyum padanya. Lili merasa malu karena memiliki kakak yang mengalami sedikit keterbelakangan mental dan berjualan gorengan pula di dekat sekolahnya.
Walaupun perlakuan yang diberikan oleh adiknya tidak pernah ramah, tapi Ilham sangat menyayangi Lili. Dia selalu teringat oleh pesan ibunya sewaktu masih hidup.
“Ilham, kau adalah anak tertua Ibu dan Ayah, jadi jika kami tidak bisa menjaga Lili, kamu yang harus menjaganya. Agar kamu tidak lupa, Ibu tuliskan yang harus kamu lakukan untuk Lili dari pagi sampai malam di dinding kamarmu.” ujar Ibunya.
Ilham menganggukan kepalanya dan berkata “Iya Bu, aku akan selalu menjaga Lili sampai kapanpun”.
Sejak saat itu setiap kali Ilham akan tidur, dia pasti melihat dan mengingat apa saja yang harus dikalukannya untuk Lili. Tak pernah sekalipun dia melewatkan hal-hal yang harus dilakukannya. Keesokan harinya Ilham masih tetap menyediakan sarapan seperti biasa.
“Lili, aku ba-bawakan sarapan untukmu..” ujar Ilham sambil tersenyum.
Seketika itu pintu kamar Lili terbuka. Lili keluar kamar dengan raut wajah kesal dan membalikkan meja kecil yang berisi sarapannya. Air dalam gelas tumpah ruah ke lantai, piring berisi bubur ayam pun terbalik. Ilham sangat terkejut dan merasa ketakutan.
“Kenapa kau terus-menerus melakukan hal seperti ini ?!! Sampai seratus kali pun, aku tidak pernah menyukainya..!” bentak Lili.
Kemudian Lili berangkat ke sekolah, meninggalkan kakaknya yang masih terdiam dalam ketakutan dan menitihkan air mata. Tak lama kemudian Ilham membersihkan air dan bubur ayam yang tumpah di lantai.
Semenjak ditinggal kedua orang tuanya, Lili tumbuh menjadi gadis yang keras kepala dan egois. Di sekolah dia tidak punya teman akrab. Hanya sendirian dan selalu sendirian. Tak ada sandaran baginya untuk berbagi cerita. Cahaya kasih sayang dalam hatinya sudah padam sejak lama. Kepedihan... itulah yang selalu ada dalam diri seorang Lili, gadis yang berusa tegar dalam kerapuhan hatinya.
Cakrawala jingga sudah nampak. Angin sepoi berlarian ke sana kemari. “Teng..! teng..! teng....!” suara bel sekolah berbunyi.
Jam pelajaran terakhir selesai. Tak lama kemudian para siswa berhamburan keluar kelas. Terlihat beberapa siswa berkelompok pulang bersama dengan wajah-wajah yang ceria. Namun berbeda dengan Lili. Bagaikan berada di dunia yang sangat asing, dia pulang sendirian seperti biasanya. Hanya berteman dengan bayangan dirinya saja.
“Dunia ini begitu konyol.. Tak ada kebahagiaan.. Semuanya hanya kepedihan.. Aku... aku hidup.. tapi mati..” gumamnya Lili sambil terus berjalan.
Sementara itu, Ilham masih berada dikios kecilnya. Gerombolan siswa memenuhi jalan. Ilham mengedarkan pandangannya ke segala arah. Melihat satu persatu siswa perempuan yang sedang berjalan. Sudah cukup lama dia menunggu. Ya, Ilham menunggu Lili. Dia selalu melakukan hal ini setiap hari, hanya untuk memastikan adiknya pulang dengan selamat. Kecemasan dalam hatinya mulai muncul. Namun tak berlangsung lama, karena akhirnya dia melihat Lili pulang dengan kondisi seperti biasa.
“Li-Lili...! Lili...! panggil Ilham seraya tersenyum dan melambaikan tangannya.
Langkah kaki Lili terhenti dan memandang kakaknya sebentar dengan sorot mata yang begitu tajam. Kemudian Lili melanjutkan perjalanan pulangnya.
Esok hari tanggal 18 Desember. Itu adalah hari kelahiran Lili. Usianya bertambah satu tahun. Namun bagi Lili hari kelahirnya bukanlah hari istimewa. Bahkan dia seolah melupakannya. Tapi Ilham sangat mengingat baik hari kelahiran adiknya itu.
“Hari ini Li-Lili ulang tahun.. A-aku akan membelikannya kue ulang ta-tahun dan ka-kado..” ujar Ilham dengan gembira.
Ilham membuka celengan kayunya. Uang itu dia tabung dari hasil berjualan gorengan. Ilham menepuk-nepuk celengan kayunya dengan sekuat tenaga. Uang receh seribuan, uang kertas dua ribuan, lima ribuan, dan sepuluh ribuan keluar secara bergantian. Jumlahnya lumayan, hampir mencapai lima ratus ribu. Ilham pun pergi ke toko kue. Sesampainya di sana Ilham melihat macam-macam kue ulang tahun yang sangat indah.
“Silakan dipilih Mas..” ujar pelayan toko.
“Ini.. ini...” Ilham menunjuk salah satu kue ulang tahun yang menarik hatinya.
“Mau sekalian sama lilinnya, Mas ?” sambung pelayan toko.
Ilham mengangguk-angguk. “De-delapan belas” ujarnya.
“Harganya seratus ribu, Mas..” ujar pelayan toko itu.
Ilham menyerahkan segenggam uang dengan jumlah seratus ribu.
“Te-terima kasih, Mbak.” ucap Ilham sambil menerima keresek berukuran sedang yang berisi kue ulang tahun.
Ilham kembali berjalan menyusuri trotoar seraya melihat satu demi satu toko-toko yang berjejer sepanjang jalan. Matahari semakin terik. Peluh pun berkilauan keluar dari pori kulitnya. Kaos yang sudah agak kusam itu mulai terlihat basah. Setelah cukup lama berjalan, akhirnya dia menemukan toko aksesoris yang di dalamnya terdapat banyak pernak-pernik berkilauan dan boneka-boneka lucu. Ilham melihat papan nama toko itu. “*NICE SURPRICE*” Kemudian Ilham pun memasuki toko.
Matanya berbinar-binar melihat barang-barang yang berkilauan, boneka lucu dari ukuran kecil sampai ukuran jumbo. Matanya mengitari seluruh ruangan dan tertuju pada satu boneka ukuran besar.
“Mbak, sa-saya pilih i-ini..” ujarnya sambil menunjuk boneka tedy bear biru.
“Harganya dua ratus ribu, Mas..” ujar pelayan toko.
Kemudian Ilham pun mengeluarkan segenggam uang dengan jumlah dua ratus ribu.
“Te-terima ka-kasih, Mbak..” ucap Ilham.
Ilham pulang secepatnya dengan hati gembira. Dia tak sabar ingin memberikan kejutan pada Lili. Setibanya di rumah, Lili masih belum pulang dari sekolah. Jam dinding yang sudah usang termakan usia menunjukkan pukul tiga sore. Ilham menunggu Lili sambil mondar-mandir di ruang tamu.
“Ceklekk..” pintu depan terbuka.
Lili pulang dengan wajah sedikit pucat. Dia melepas sepatunya dan berjalan menuju kamarnya. Tiba-tiba Ilham mengagetkannya. Sontak Lili berteriak kaget. Ilham hanya tersenyum bahagia melihat adiknya seperti itu. Namun Lili tidak. “Se-selamat u-ulang tahun, Lili..” ujar Ilham dengan senyum bahagia.
Raut wajah Lili seakan terbakar amarah. Dia membuang kue ulang tahun dan kado yang yang ada di tangan kakaknya itu. Kemudian bergegas pergi menuju kamarnya.
Ilham hanya diam dan kebingungan. Dalam benaknya dia bertanya-tanya kenapa adiknya tidak suka dengan kue dan kado ulang tahunnya. Dia pikir, mungkin dia salah membeli kue dan kado. Hal ini bukanlah yang pertamakalinya. Ini sudah terjadi berulang kali setiap ulang tahun Lili.
Hatinya sedih karena dia tidak bisa membuat adiknya senang pada hari ulang tahunnya yang ke delapan belas ini. Dengan sedikit menitihkan air mata, Ilham membereskan kue ulang tahun yang berserakan di lantai dan menyimpan kadonya kembali di lemari bersama dengan kado-kado ulang tahun yang sebelumnya. Berharap suatu hari nanti Lili mau menerima kadonya itu.
Malam pun tiba. Angin bertiup kencang. Pepohonan berayun kesana-kemari mengikuti tarian angin. Awan hitam menyelimuti langit, seakan ikut bersedih melihat Ilham yang duduk terdiam di pojok kamar sambil melihat foto keluarga mereka. Begitu memilukan. Hingga awan hitam pun menangis sebisanya. Seakan geram dengan perlakuan Lili pada Ilham, kilat dan guntur pun sedikit murka.
Sementara itu, Lili meringkuk di kasurnya dengan menahan rasa sakit yang hebat pada perutnya hingga wajahnya pucat. Sekuat tenaga dia menahan rasa sakit yang kian hebat itu. Lili tak bisa berkata sepatah kata pun untuk meminta tolong.
Ilham yang terduduk diam tiba-tiba merasa sangat cemas dengan adiknya. Dia pun bergegas menuju kamar Lili.
“Li-Lili... Bolehkah a-aku bicara se-sebentar ?” tanya Ilham di depan pintu kamarnya.
Berkali-kali Ilham memanggil, namun Lili masih tidak menjawab. Karena penasaran, Ilham perlahan-lahan membuka pintu kamarnya. Kemudian dia terkejut melihat Lili yang meringkuk kesakitan di kasurnya. Ilham pun berlari mendekatinya dengan perasaan yang sangat cemas.
Hujan deras disertai angin kencang masih berlanjut. Namun kilat dan guntur sudah tak nampak lagi. Dengan tekad yang kuat, Ilham menggendong Lili untuk dibawa ke rumah sakit. Berbekal payung yang sedikit berkarat, Ilham pun berlari menerobos hujan deras dengan menggendog sang adik. Jarak tempuh menuju rumah sakit sangat jauh. Dingin dan lelah. Ilham pun terjatuh. Tapi dia bangkit dan berlari kembali. Berlari secepat yang dia bisa agar cepat sampai di rumah sakit.
Melihat perjuangan kakaknya, hati Lili pun tersentuh hingga meneteskan air mata. Dia merenungkan kembali sikap buruknya pada kakaknya. Dalam hatinya muncul penyesalan-penyesalan yang amat mendalam. Air matanya semakin mengalir deras, sederas hujan yang mengguyur mereka berdua.
Setelah berlari menempuh waktu dua jam, akhirnya mereka sampai di rumah sakit. Suster pun segera membawa Lili ke ruang UGD. Dengan tubuh yang basah kuyup, Ilham tetap setia menunggu Lili di kursi dengan perasaan yang tak menentu. Dia terus berdoa untuk keselamatan adik kesayangannya itu.
Setelah satu jam menunggu, hingga bajunya sedikit mengering, akhirnya Lili keluar dari ruang UGD dan dipindahkan ke ruang rawat. Dokter bilang, Lili terkena usus buntu. Ilham pun boleh diizinkan dokter untuk menemuinya setelah Lili sadar. Namun Ilham hanya melihat adiknya dari kejauhan, dia tidak berani mendekati Lili, karena takut adiknya merasa tidak nyaman dengan kehadirannya. Hatinya senang Lili dapat selamat.
“Kak Ilham... masuk saja, tidak apa-apa..” panggil Lili seraya tersenyum.
Ilham pun memenuhi panggilan adiknya itu. Dia pun mendekati Lili dengan perlahan. Tiba-tiba Lili meraih tangan Ilham dan menggenggammnya.
“Kak Ilham... terima kasih banyak atas semua yang kakak lakukan untukku. Maafkan aku yang sudah bersikap kasar padamu..” ucap Lili seraya berlinangan air mata.
Mendengar ucapan adiknya, Ilham hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya dengan sedikit malu-malu.
“Kakak, kaulah malaikatku..” ujar Lili dalam hati.
EmoticonEmoticon