Goodpeople-- Pada kesempatan ini saya ingin berbagi cerpen karya saya sendiri. Mungkin masih banyak kekurangan, tapi seorang yang benar-benar penulis harus berani untuk mempublikasikan karyanya kepada orang lain. Yang berminat baca cerpen saya, langsung aja lihat di bawah sini :)
Oleh Ina Rohaeni
Matahari tepat berada di atas kepalaku. Namun gemuruh di ujung langit itu menggema murka. Entah apa yang membuatnya seperti itu. Pasukan awan hitam beserta genderang guntur datang menghampiri pasukan awan putih. Mereka seakan ingin mengambil alih kekuasaan atas daerah yang berada dibawah naungan awan putih. Orang-orang pun terlihat gelisah dengan kedatangan pasuka awan hitam itu. Tak terkecuali aku.
Genderang guntur yang terus-menerus menggema, kini diiringi dengan tetesan air yang semakin lama semakin lebat. Hembusan angin yang kuat menerbangkan pasukan awan putih menjauh dari pasukan awan hitam. Ketika itu terjadi, orang-orang akan merasa sedih, kesal, dan ketakutan. Tak terkecuali aku, yang kini berlindung di terminal bus Cicaheum, Bandung. Menunggu bus dengan tujuan Pangandaran-Bandung.
Namun saat itu juga terlihat wajah-wajah malaikat kecil yang riang. Mereka berlarian ke sana ke mari dengan membawa serta payungnya. Ya, payung yang ditawarkan kepada setiap orang yang mungkin ingin menggunakan jasanya sebagai ojek payung, sedangkan mereka rela basah kuyup diguyur air hujan.
Batinku terenyuh melihat ironi kehidupan ini. Pandanganku pun mulai kabur karena linangan air mata. “Betapa sulitnya kehidupan yang mereka jalani, hingga masa kecilnya harus direlakan untuk mencari nafkah” ujarku sendu.
Aku pun segera menghapus sisa air mata yang sempat menetes. Pandangan ku edarkan lagi ke segala penjuru, lalu tertuju pada satu arah. Pada seorang laki-laki dengan gadis kecil yang tak lain adalah salah seorang dari gerombolan ojek payung anak-anak tadi. Mereka berlindung dalam satu payung berukuran sedang. Melangkah perlahan namun pasti dan menuju ke arah tempatku berteduh.
Laki-laki itu tersenyum. “Hmmm.. akhirnya sampai juga. Terima kasih ya adik kecil.” ujarnya seraya menyerahkan selembar uang Rp.10.000.
Gadis kecil itu pun terlihat bingung. Kedua tangan mungilnya dimasukkan ke dalam kantong celananya. Seperti mencari sesuatu, namun dia tak menemukannya.
“Maaf Kak, saya tidak punya kembaliannya, pakai uang pas aja, ada gak ?” ujarnya. Laki-laki itu kembali tersenyum dan mengelus-elus kepala gadis kecil tersebut seraya berkata “Sudah, tidak apa-apa. Kembaliannya ambil saja”. Dalam raut wajahnya kini terlihat ukiran senyuman manis. “Makasih ya Kak,” ucapnya dan tangannya kembali meraih payung kemudian pergi meninggalkan laki-laki itu untuk menawarkan jasanya lagi. Laki-laki itu terus menatapnya hingga gadis kecil itu hilang dari pandangannya.
Tanpa sadar aku terus melihat ke arahnya. Kagum. Itulah kata yang sedang merasuki tubuh dan jiwaku. Terlintas dalam imaji untuk mengenalnya. Namun, kekaguman lebih baik hanya tetap menjadi kekaguman. Jika terlalu dekat, bisa seperti Ikarus yang jatuh ke bumi karena sayapnya terbakar matahari.
Di bawah hujan ini sebuah misteri takdir Sang Pencipta akan sebuah pertemuan telah terjadi. Namun sebuah pertemuan pasti berpasangan dengan perpisahan. Karena tempat kita hidup sekarang ini bukanlah tempat pertemuan yang abadi.
Hujan masih mengguyur. Hembusan angin mulai merasuk menusuk sampai ke tulang. Pukul 14.12 WIB. “Ya ampuuunn.. tak terasa aku sudah berada di tempat ini selama 10 menit.” ujarku seraya melihat arloji. Jenuh. Apalagi udara dingin membuat kondisi tubuh melemah. Di dekat tempatku berdiri, ada sebuah toko kecil yang juga menjual minuman dan gorengan. Kakiku tidak setuju aku ke sana, tapi perutku sangat setuju. Akhirnya aku pun melewati laki-laki itu dan menuju toko kecil, untuk menambah pasokan energi dan menghangatkan tubuh.
“Bu... Saya pesan susu jahe hangat 1 ya..!” ujarku sambil duduk di kursi panjang yang berada di depan tokonya. “Iya, Neng...!” jawab Ibu pemilik toko. Tak lama kemudian susu jahe pesananku pun datang. “Ini susu jahenya, Neng..” ujarnya. “Iya,makasih, Bu...” jawabku.
“Sekarang mah ujannya gak bisa diprediksi ya, Neng. Harus selalu sedia payung sebelum hujan. Tapi sekarang mah banyak juga jasa ojeg payung, jadi tidak perlu khawatir keujanan.” ujar Ibu pemilik toko. Aku tersenyum. “Iya, Bu.. Betul. Tapi kalau ojek payungnya anak-anak seperti mereka, rasanya kurang pantas. Mereka masih anak-anak yang harusnya bermain sambil belajar, bukannya bermain sambil mencari nafkah.” tanggapku.
“Permisi.. Bu, kopi satu ya.” ujar seorang laki-laki yang berdiri di belakangku. “Oh, iya. Tunggu sebentar.” ujar Ibu pemilik warung sambil beranjak pergi ke dalam toko. Kemudian laki-laki itu duduk di sebelahku dengan jarak yang tidak terlalu dekat.
“Mba.. yang tadi yang di sana kan ?” tanya laki-laki itu. Aku tersenyum malu. “Iya, memangnya kenapa, Mas ?” tanyaku. “Ah, tidak. Oiya, jangan panggil Mas, saya masih muda. Panggil saja Wiliam.” ujar laki-laki itu. “Ooh.. iya.” jawabku. “Trus saya panggil Mba ? atau...” tanyanya lagi. “Jangan Mba, kesannya jadi lebih tua. Panggil saja Niki.” jawabku.
“Ini kopinya..” ujar Ibu pemilik toko. “Iya, makasih, Bu..” jawab laki-laki yang diketahui bernama Wiliam. Kami pun melanjutkan perbincangan bersama dengan Ibu pemilik toko. Terselip canda tawa yang makin menghangatkan suasana dingin.
Sementara itu, anak-anak kecil masih sibuk menawarkan jasanya sebagai ojeg payung pada setiap orang. Namun, hanya sebagian kecil saja orang yang mau menggunakan ojeg payung. Pemandangan yang sangat miris. Harusnya mereka tidak dibiarkan begitu saja tanpa pengawasan dari orang tuanya.
Terhanyut dalam perbincangan hangat dan menyenangkan. Hujan yang sedari tadi mengguyur pun, kini hanya turun beberapa tetes. Pantulan sinar yang menerobos dinding langit membuat pasukan awan hitam itu perlahan pergi. Dedaunan yang bergantungan di ranting pun terlihat berkilauan oleh tetesan-tetesan air hujan yang masih betah bernggelayutan.
“Eh.. Niki, itu bus yang kamu tunggu kan ?” tanya Wiliam. Aku pun menoleh ke arah samping kanan. “Iya.. Akhirnya... setelah sekian lama menunggu.” ujarku seraya membereskan tas. “Hati-hati di jalan ya, Niki.” ujar Wiliam. “Iya, pasti.” jawabku. “Bu.. ini uangnya, makasih ya. Saya pamit pulang ya, Assalamualaikum..!” ujarku seraya berlari kecil menuju bus itu. “Waalaikumsalam..!” jawab Ibu pemilik toko dan Wiliam.
Aku menyukai hujan. Karena di situlah, aku bertemu dan berpisah pula dengannya. Waktu adalah hal yang mengerikan, sebagian kesedihan dan kegembiraan pun akan pergi dan hilang bersamanya. Apa yang terjadi hari ini, akan menjadi kenanganku dalam hujan.
Ketika aku sudah berada dalam bus, pandangan ku arahkan ke luar jendela. Terlihat lagi anak-anak kecil ojeg payung yang sedang terduduk diam di pinggiran toko. Mungkin dalam benak mereka masih mengharapkan hujan. Dan mungkin mereka juga menyukai hujan. Karena di bawah hujan lah, mereka mendapatkan rupiah untuk kelanjutan hidupnya.
Sekali lagi, batinku terenyuh melihat anak-anak kecil itu masih dapat tertawa riang dengan kenyataan hidup yang bahkan tak seharusnya dirasakan pada anak seusia mereka. “Anak-anak kecil yang manis, jalan yang kalian tempuh, harus indah seperti bunga dan kuat seperti pohon.” ujarku penuh harap.
EmoticonEmoticon