Pada postingan sebelumnya Goodpeople-- sudah membaca contoh esai formal. Sekarang yuuk lanjut baca contoh esai nonformal. ;)
MENULIS SUNGGUH-SUNGGUH DAN
MENULIS PURA-PURA
Oleh : Budi Darma
Saya mempunyai teman yang mengaku dirinya penulis, meskipun saya yakin dia bukan penulis. Dia mempunyai banyak sekali tulisan. Naskah drama, naskah puisi, naskah cerpen, naskah novel, naskah esai, dan naskah-naskah lain dia punyai. Memang dia hebat.
Akan tetapi, ternyata satu kali pun dia tidak pernah menerbitkan tulisannya. Setiap kali dia berusaha menerbitkannya, dia merasa ragu-ragu akan kebolehan tulisannya sendiri. Karena itulah dia menyibukkan diri dengan menulis kembali naskah-naskahnya. Dia dapat mengubah-ubah satu naskahnya sampai beberapa kali, kalau perlu sampai puluhan kali. Akhirnya dia tidak pernah menyelesaikan apa-apa.
Nasib teman saya ini seburuk nasib Prufok: selalu bernafsu untuk bertindak, akan tetapi selalu ragu-ragu apakah tindakannya akan benar. Akhirnya dia tidak bertindak apa-apa, kecuali mengadakan masturbasi dengan tulisan-tulisannya sendiri.
Teman saya ini berbeda dengan teman saya yang lain, yaitu seorang penyair yang betul-betul penyair, dan bukannya penyair pura-pura. Saya pernah bertanya kepadanya, “Bagaimanakah cara sampean menulis puisi yang baik?” Wah ini pertanyaan berat, sebab saya sendiri tidak tahu bagaimana caranya.” “Lalu bagaimana cara sampean menulis puisi yang dimuat dalam majalah-majalah sastra itu?” Jawabnya sederhana, “Asal saya tulis begitu saja. Ya, asal saya tulis begitu saja.”
Teringatlah saya akan suatu artikel mengenai Riyono Pratikto. Kalau tidak salah, artikel ini dimuat dalam “Gelanggang” lembaran kebudayaan majalah Siasat entah berapa tahun yang lalu. Pada waktu itu, Riyono sedang jaya-jayanya menjadi pengerang cerpen. Menurut artikel ini, Riyono dapat menulis cerpen langsung dengan mesin tulis, tanpa ancang-ancang terlebih dahulu. Bahkan Riyono dapat menulis sambil mengobrol dengan teman-teman dan tamu-tamunya. Sungguh hebat. Riyono tidak perlu mengkonsepkan terlebih dahulu apa temanya, bagaimana alurnya, bagaimana penokohannya, dan tetek bengek lainnya. Semua lahir dengan sendirinya, dalam bentuk siap diterbitkan.
Cerita megenai Riyono hanyalah contoh kecil di antara sekian banyak peristiwa lain yang pernah dialami oleh sekian banyak penulis yang betul-betul penulis. Tercerritalah, begitu bangun tidur penyair Coleridge menulis sajak dengan semangat yang berapi-api. Sajak belum selesai, pintu rumah Coleridge diketuk tukang rekening. Terpaksalah Coleridge bangkit melayani tamunya. Seusai tamunya pergi, Coleridge kehabisan semangat untuk melanjutkan sajaknya. Dan jadilah sajak yangsebetulnya tidak selesai, berjudul “Kubla Khan”. Penyair Jhon Keats mempunyai pengalaman yang berbeda, meskipun hakikatnya sama. Pada sutu hari dia menarik kursi-malas ke bawah pohon rindang di rumah sahabatnya. Maka terdengarlah olehnya cuit-cuit burung balam. Kemudian dia tertidur. Begitu bangun, dia menulis sajak dengan semangat yang tinggi. Sekali gebrak terlahirlah sajak “Ode to a Nightingale”.
Kalau dilihat sepintas lalu, penulis yang betul-betul penulis tidak pernah mempuanyai persiapan apa-apa. Mereka berbeda dengan teman saya. Dia selalu mengkonsepkan segala sesuatunya di atas kertas sebelum dia berangkat menulis. Dan setelah kerja ini selesai, dia mengubah-ubah lagi tulisannya. Dia mulai dari kriteria, dan terhenti oleh kajian-kajiannya terhadap kriterianya sendiri.
Tentu saja, penulis yang betul-betul penulis sebetulnya tidak bisa menulis tanpa persiapan apa-apa. Mereka kaya pengalaman batin, kepekaan, imajinasi, kemampuan berbahasa, kemampuan bercerita, dan lain-lain kemampuan. Mereka-reka apa yang akan ditulisnya hanyalah soal kecil bagi mereka.
Beberapa tahun yang lalu, beberapa penulis menerjemahkan cerita-cerita asing ke dalam bahasa Indonesia. Kalau tidak salah mereka adalah Beb Vuyk, Mochtar Lubis, dan S. Mundingsari. Saya tidak ingat betul apakah yang mereka terjemahkan cerita-cerita dari Tiongkok atau dari Rusia. Mereka mengumpulkan terjemahan tersebut, kemudian menerbitkannya, kalau tidak salah di Balai Pustaka. Dalam kata pengantar, mereka menceritkan kebiasaan salah seorang pengarang yang cerpennya mereka terjemahkan. Pengarang ini mempunyai kebiasaan jalan-jalan. Pada waktu berjalan-jalan, kadang-kadang ia mendapat inspirasi untuk menulis serangkaian kata-kata. Semua rangkaian kata ini ditempelkan di dinding kamar kerjanya. Rangkaian kata-kata inilah yang kemudian mendorongnya untuk menulis cerpen. Begitu dia menemukan kata-kata yang pas, cerpennya menggelinding sampai selesai. Dia tidak memerlukan sinopsis, alur, tema, dan lain-lain sebagai titik tolak.
Memang ada perbedaan antara menulis sungguh-sungguh dengan menulis pura-pura. Perbedaan ini dapat diandaikan dari mana sebaiknya orang menaiki kereta: menaruh kuda di belakang kereta agar kuda tersebut mendorong kereta, atau menaruhnya di depan kereta agar kuda tersebut sanggup menarik kereta.
1972
EmoticonEmoticon